Kemampuan masyarakat Nusantara mengenai hal tidak kasat mata boleh dibilang tidak ada keraguan lagi. Tak ayal, cerita horor tumbuh subur di berbagai daerah. Meskipun beberapa orang mengkotakkan bahwa ilmu semacam ini selalu berurusan dengan kejahatan, namun faktanya tidak demikian di lapangan. Kemampuan mengendalikan ilmu transndental ini dapat dirubah menjadi keuntungan guna kemaslahatan umat. Tentunya, hal ini akan banyak menuai kontroversi mengenai hukumnya. Banyak yang bilang aktifitas tersebut sebagai persekutuan kepada Tuhan, namun ada pula yang melihat dari sisi kemanfaatan.
Ambil saja contoh penyakit ‘sawan’ yang selalu luput dari pengamatan dokter. Meskipun diberikan berbagai macam obat-obatan dan perkiraan nama penyakit, si penderita tidak akan kunjung sembuh. Berbeda dengan si dokter, penangkal sawan memadukan beberapa benda yang dipercaya sebagai penangkal makhluk halus dan selanjutnya dioleskan di area telinga, dada, lengan dan telapak kaki. Penyakit ini biasanya dikarenakan gangguan ghaib lantaran kesensitifitasan jiwa seseorang atau mereka melanggar pantangan suatu daerah. Oleh sebab itu, penyakit ini lebih banyak diderita oleh balita atau anak remaja. Tidak berhenti sampai di situ, kisah horror semacam ini juga berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi seperti santet, mantra perayu, kekebalan dan lain-lain.
Sosok Kedhono dan Kedhini
Karena ilmu-ilmu tersebut tidak kasat mata, maka penangkalnya pun berupa ilmu serupa. Meskipun tak sedikit yang menyangsikan, tapi banyak pula yang mempercayai bentuk tangkalan ini. Dalam hal ini, boleh dibilang ‘seeing is believing‘. Salah satunya adalah pengobatan yang dilakukan oleh beberapa warga sekitar Pantura area Selatan. Mereka meyakini bahwa jabang bayi yang meninggal pada bulan Suro (penanggalan Jawa) di weton kliwon merupakan kawan dari makhluk Kedhono dan Kedhini. Nama tersebut disandarkan pada sebutan sepasang saudara laki-laki dan perempuan kembar.
Biasanya, si kakak adalah laki-laki yang tidak bisa melihat, sedangkan si adik adalah perempuan yang tidak bisa berjalan. Ketika jabang bayi meninggal pada penanggalan tersebut, Kedhono dan Kedhini akan menemaninya. Cerita horor ini biasanya ditandai dengan adanya seseorang mengubur jabang bayi yang masih keturunananya di bawah ranjang. Tak jarang, ibu atau nenek adalah wadah yang akan dijadikan media untuk berkomunikasi. Apabila arwah si jabang bayi tersebut masuk ke raga induk semangnya, seketika sang wadah akan bersikap layaknya anak kecil termasuk suaranya. Arwah jabang bayi tersebut akan mengobati si penderita dengan sentuhan dan wejangan.
Metode penyembuhan
Cerita pengobatan mistis ini pun menyembuhkan berbagai macam penyakit. Katakanlah penyakit fisik seperti terkilir, pegal-pegal, atau gangguan makhluk tak kasat mata lainnya seperti telih, gangguan jin dll. Supaya si arwah mau mengobati, induk semang akan memanjatkan doa supaya tubuhnya dirasuki dan pasien yang berada di bilik sendirian telah diberi pesan untuk segera merayu saat si arwah memasuki raga. Bentuk rayuannya pun beragam dari kalimat rindu hingga iming-iming kesukaan ‘bocah’ seperti permen atau mengajak jalan-jalan. Selanjutnya, si penderita akan menunjukkan lukanya untuk diobati.
Setelah diobati, jabang bayi tersebut akan pergi meninggalkan tubuh induk semangnya. Untuk selanjutnya, induk semang akan memberikan ramuan yang telah diingat oleh pasien. Beberapa orang pun menganggap bahwa Kedhono dan Kedhini lah yang memberitahu bagaimana cara mengobati pasien. Cerita horror tentang pengobatan ini telah jamak diketahui masyarakat daerah tersebut sehingga tidak begitu mengherankan jika seorang ibu memilih untuk memakamkan anaknya di bawah ranjang mereka. Metode ini pun masih dilakukan sampai saat ini.